Rabu, 16 Februari 2011

hubungan bahasa dan pikiran

By Zainurrahman

BAHASA DAN PIKIRAN
(Ideolinguistik)
Oleh: Zainurrahman

Mukaddimah
Puji syukur pada Allah SWT atas segala karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan dengan judul Bahasa dan Pikiran (Ideolinguistik). Dalam kajian bahasa, istilah Ideolinguistik mungkin akan sangat asing bagi pembaca sekalian. Saya menyarankan istiliah ini karena dalam kajiannya nanti pembahasannya menyangkut hubungan antara pikiran (idea) dan bahasa (lingua).
Dalam kehidupan praktis sehari-hari, kita melakukan komunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, dengan bahasa kita mampu mengkomunikasikan ide-ide kita. Apakah bahasa merupakan satu-satunya instrumen untuk berkomunikasi? Tidak terasa kita memang menganut paham tersebut, yang setuju bahwa “bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi”. Dan memang itu benar adanya.
Gadamer pernah mengatakan bahwa “Ada (sein) yang dapat dipahami adalah bahasa”. Hanya sejauh “terbahasakan” sesuatu dapat ditangkap. Ini berarti Gadamer berpendapat bahwa manusia hanya dapat memahami realitas sepanjang realitas itu terbahasakan. Dengan kata lain, yang disebut dengan realitas adalah hal-hal yang dapat dibahasakan.
Sayangnya, sampai saat ini, sangat sulit kita temukan pemikiran-pemikiran yang secara khusus membahas korelasi antara bahasa dan pikiran. Tesis Gadamer di atas tentu saja terbatas pada bahasa dan realitas, sedangkan bahasa (yang merealisir realitas) itu merupakan realisasi ide-ide. Ide terletak dalam pikiran. Bahkan tidak ada garis pembeda yang tegas, yang ‘meng-antara-kan’ ide dan pikiran.
Kita bisa melihat jelas seseorang yang pikirannya kacau mengakibatkan bahasanya kacau juga. Kadang juga jika seseorang sedang memikirkan sesuatu yang berat, yang bersangkutan tidak berselera untuk bicara. Ada juga yang berpendapat bahwa bahasa merupakan cermin pikiran, apa yang dibicarakan adalah apa yang dipikirkan. Bahasa terbentuk dari pikiran, atau bentuk bahasa (secara individual dan spontan) meniru atau mengikuti bentuk pikiran atau ide.
Akan tetapi jika kita mau lebih jeli melihat, sesungguhnya bahasa itu hanyalah “wujud” dari ide atau pikiran saja. Sehingga analisa bahasa dengan melepaskannya dari analisa ide adalah kesesatan. Artinya, tidak mungkin ada bahasa tanpa ada ide, begitu pula sebaliknya. Kira-kira demikian yang saya dapatkan dari hasil pembacaan beberapa buku (lihat bibliografi). Benarkah demikian? Bukankah banyak orang mengigau saat mimpi? Dimana ide mereka dalam keadaan istirahat? Bukankah pula seseorang yang gugup tidak mampu bicara benar, yang artinya ada juga hubungan antara emosi dengan bahasa? Inilah yang penting untuk dibahas. Hubungan bahasa dengan sosial (Sosiolinguistik), hubungan bahasa dengan emosi (Psikolinguistik) dapat anda pelajari lewat banyak buku. Namun hubungan bahasa dan ide (Ideolinguistik) tidak semudah mengatakan sebagaimana yang dikatakan di atas, bahwa yang nyata adalah yang terbahasakan, bahasa merupakan cermin ide; saya sangat ingin mengatakan “tidak semudah itu sayang…..”
Demikian, saya harap tulisan ini akan bermanfaat bagi anda sekalian. Saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan. Perlu saya sampaikan, bahwa tulisan ini saya susun dalam bentuk tanya jawab, yang tentunya akan disertai penjelasan-penjelasan.
Sesi 1
Dalam sesi ini saya menyingkat penanya sebagai A dan penjawab sebagai B.
(A: Anna, seorang mahasisiwi cantik dan seksi, dengan menggunakak rok mini warna merah dengan kaos putih setengah transparan…..)
A: Apakah yang dimaksud dengan ide?
B: Ide berasal dari kata Yunani Eidos yang berarti tangkapan. Istilah ini sudah sangat populer di zaman Homeros, Empedokles, Demokritos, terutama di zaman Plato. Ide atau Eidos ini dapat berarti “yang terlihat”, “yang nampak” atau lebih komplitnya “yang terindrai”. Sehingga secara sederhana, ide dapat diartikan sebagai apa yang menjadi tangkapan indra manusia.
A: Apakah binatang memiliki ide?
B: Satu hal yang pasti adalah bahwa kita tidak pernah menjadi binatang, sehingga kita tidak mengetahui secara pasti apakah yang dialami oleh binatang tersebut. Anda bisa saja mengingat-ngingat saat seekor kucing di atas meja tiba-tiba melompat karena anda datang, seekor burung yang terbang karena anda datang. Binatang-binatang tersebut mengetahui bahwa kedatangan anda bertujuan kepadanya. Berarti indranya menangkap kedatangan anda. Kucing-kucing itu juga dapat membedakan mana tuannya yang senantiasa menyayanginya dan mana yang bukan (?). Ini berarti selain bernaluri, dia juga memiliki kemampuan membedakan. Monyet-monyet di kebun binatang juga sering tertawa terbahak-bahak, ini berarti mereka punya selera humor. Namun bukan berarti kita bisa mengeneralisasikan bahwa semua binatang seperti itu. Kini saya ingin balik bertanya kepada anda, binatang apa yang anda maksud?
A: Apa maksud anda dengan tidak dapat mengeneralisasikan? Bukankah semua binatang itu berbeda dengan manusia namun sama (secara substantif) antara satu dengan yang lain?
B: Setiap spesis hewan memiliki karakteristik dan fitur yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan dalam hidupnya. Termasuk manusia, saya memikirkan bahwa manusia tergolong spesis antara makhluk-makluk berdarah, berdaging dan bertulang. Jika manusia memiliki ide, seperti yang telah saya sampaikan di atas, maka tidak menutupi kemungkinan bahwa spesis makhluk yang lain juga seperti itu, namun dengan cara dan ragam yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan dan cara hidupnya masing-masing.
A: Jika eidos berarti apa-apa yang terindrai, bagaimana dengan ide tentang Tuhan dan hal-hal metafisik lainnya? Bukankah hal-hal tersebut tidak dapat terindrai?
B: Ada kesalahan dalam menangkap kesan-kesan indrawi selama ini. Khususnya mengenai apa yang anda tanyakan. Manusia senantiasa menangkap kesan-kesan sebagaimana kebiasaannya. Pemahaman manusia mengenai hal-hal yang transenden terbentuk dari bacaan-bacaan kitab suci, yang tertulis oleh yang seakan-akan telah melihat dan mendengar apa-apa yang telah dituliskannya itu secara manusiawi. Artinya, anda salah jika “memanusiakan Tuhan”. Anda salah jika membendakan surga dan neraka. Anda salah jika membayangkan ruh seperti anda membayangkan udara yang anda rasakan dalam hirupan anda. Kebiasaan kita memaksakan ide Tuhan hadir sebagaimana ide-ide yang lain hadir dalam akal budi kita merupakan suatu kekeliruan, oleh karenanya Martin Heiddeger menyarankan kita senantiasa berani untuk tidak menafsirkan fenomena. Artinya biarkan fenomena-fenomena muncul apa adanya dan kita menjadi pemula dalam menatap fenomena itu.
Pada hakikatnya, Tuhan tidak dapat ditangkap oleh indra manusiawi. Tetapi hanya dapat ditatap dengan indra rabbani yang tidak mungkin saya utarakan dalam kesempatan ini. Kita hanya berbicara mengenai ide dan bahasa. Jika Tuhan dan hal-hal transenden lainnya dapat “diidekan”, maka merekapun dapat dibahasakan. Buktinya kita tidak dapat membahasakan Tuhan, surga dan neraka dengan yakin dan bahkan sombong. Maknanya hanya satu, bahwa tidak ada ide mengenai Tuhan, surga, neraka dan sebagainya. Kita hanya dapat menyikapinya dengan iman, yang tentu saja tidak bertempat pada akal budi, namun hati sanubari. Lain wilayahnya sayang…
A: Anda menyebut akal budi, apakah berbeda antara akal budi dan ide?
B: Tentu saja berbeda. Akal budi atau intelek adalah aktor penangkapan kesan. Dengan kata lain, akal budi merupakan fasilitas untuk mengidekan sesuau. Bukan hanya itu, ada pihak ketiga yang harus dipertimbangkan juga, yakni fantasi. Fantasi berbeda dengan ide. Contohnya, anda melihat seekor kucing. Setelah anda melihat kucing tersebut, anda masih memiliki gambaran tentang bentuk dan warna kucing tersebut meskipun anda menutup mata anda. Gambaran itu disebut fantasi. Kemudian ide adalah universalisasi tanpa adanya spesifikasi kucing jenis apa, namun anda dapat memikirkan kucing tadi sebagai bagian dari kucing-kucing yang ada di dunia ini. Yang kedua inilah yang ide. Hasil-hasil tangkapan, baik ide maupun fantasi itulah yang anda kenal sebagai konsep.
A: Baiklah, kini, dapatkah anda menjelaskan sedikit mengenai mekanisme atau sistematika kerja ide tersebut?
B: Pada dasarnya ide merupakan hasil dari pengamatan inderawi dan hasil kognisi manusia. Yang bekerja pada prinsipnya adalah akal budi, jadi mungkin pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme kerja akal budi tersebut sehingga terbentuk ide. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa akal budi bekerja melalui tiga tahap terstruktur, yakni membagi, membatasi dan menyusun pemikiran.
Membagi adalah mencerai-beraikan atau memisahkan bagian-bagian dari sesuatu yang sedang diamati. Bagian-bagian dari sesuatu itu sesungguhnya merupakan bagian yang menyusun keseluruhan objek yang diamati. Jadi keseluruhan itu merupakan bagian-bagian yang yang tersusun dan saling berkorelasi antara satu dengan yang lain.
Dapat anda tafsirkan demikian: setiap objek memiliki struktur dan struktur terdiri dari bagian-bagian yang disebut dengan unsur atau elemen. Untuk dapat memahami objek, terlebih dahulu kita membagi unsur-unsurnya berdasarkan katagori dan kelas. Saya menyarankan anda membaca Logika Scientifika (Prof. Dr. Warsito. Poespoprodjo).
Kemudian membatasi atau memberikan definisi atau pengertian pada tiap-tiap unsur tersebut. Setiap unsur memiliki definisinya, tidak mungkin definisi tiap unsur dapat menjelaskan objek secara utuh. Sehingga dalam pembatasan pengertian tiap-tiap unsur tersebut hendaklah bersifat kontekstual, artinya harus sesuai dengan tujuan anda mengamati objek tersebut. Anda harus mendefinisikan tiap unsur berdasarkan sifatnya yang relevan dengan kepentingan anda dan tujuan anda dalam mengamati objek tersebut. Tujuan anda mendefinisikan unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepentingan dan tujuan anda adalah untuk menghapus ambiguitas makna tiap unsur tersebut, dengan kata lain, anda menghapus makna-makna unsur yang tidak relevan dengan kepentingan dan tujuan anda.
Kemudian yang terakhir adalah penyusunan pemikiran. Yang terakhir ini adalah anda menyusun kembali bagian-bagian dari objek tersebut menjadi keseluruhan kembali. Anda menyusun pemikiran berdasarkan abstraksi definisi-definisi tiap unsur tadi. Sehingga anda bisa mendapatkan ide mengenai objek tadi tanpa ada kedwiartian objek tersebut. Misalnya dalam bahasa, suatu kalimat yang terbentuk dari rangkaian kata. Masing-masing kata memiliki makna yang ambigu. Setelah membatasi makna kata sesuai dengan konteks, kepentingan dan tujuan, maka anda dapat menyusun kalimat tersebut dengan ide mengenai makna kalimat tersebut secara relevan dengan kepentingan dan tujuan. Saya pikir demikian singkatnya.
Sesi 2
A: Oke, kita telah berbicara banyak mengenai apa itu ide. Mungkin kini sebaiknya kita berbicara mengenai apa itu bahasa, bagaimana menurut anda?
B: Saya pikir selama ini orang sudah berbicara banyak mengenai bahasa. Mulai dari Sokrates hingga Martin Heidegger, ditambah lagi dengan pemikir-pemikir postmoderen seperti Ferdinand de Sausurre, Gadamer, Jean Piaget, Levinson dan sebagainya. Di Indonesia sendiri banyak linguist yang sudah menulis mengenai bahasa ini, saya pikir jika hanya untuk memahami bahasa saja, anda bisa membaca buku-buku yang sudah tersedia sebelumnya. Maksud saya adalah bahwa kita tidak perlu membahas lagi pengertian bahasa itu sendiri tanpa kaitannya dengan hal lain (misalnya dengan ide).
A: Baik, apa sebenarnya hubungan kongkret antara bahasa dan ide.
B: Anda malah tidak dapat berpikir atau menangkap kesan dan membentuk sebuah ide, tanpa bahasa. Di satu sisi juga, bahasa merupakan sangkar bagi realitas, yang mana dengan bahasa realitas dapat dikongkretisasikan. Bahasa merupakan indra manusia yang sangat vital, tanpa bahasa yang dipahami, meskipun telinga anda sehat, anda tidak akan dapat memahami apa yang dibicarakan orang. Tanpa bahasa, anda tidak akan memahami apa yang anda baca, apa yang anda lihat dapa yang anda amati. Bahasa bukan apresiasi lidah, tetapi apresiasi pikiran saat berhadapan atau bergelut dengan kenyataan. Oleh karena itu kenyataan hanya dapat terungkap ketika kenyataan tersebut terbahasakan.
Bahasa dan ide seperti halnya es dengan sifat dinginnya, api dengan sifat panasnya, peluru dengan sifat menghancurkannya, pedang dengan sifat melukainya. Bahasa memuat ide, sekaligus menyingkap ide mengenai kenyataan yang ada. Bahasa tidak hanya instrumen untuk merepresentasikan ide mengenai kenyataan, tetapi bahasa adalah apa yang diistilahkan oleh Heidegger sebagai “Sangkar Ada”, kenyataan atau realitas tidak berada di luar bahasa, melainkan bersemayam di dalam bahasa. Bahasa bagi saya merupakan jasad bagi ide, ide merupakan ruh bagi bahasa. Gerak bahasa merupakan gerak ide sebagaimana gerak jasad merupakan manifestasi gerak ruh.
A: Sehingga bahasa dan ide merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan?
B: Memang bahasa dan ide dapat dipisahkan demi kepentingan observasi dengan tujuan yang berbeda-beda. Orang dapat memikirkan bahasa tanpa mengaitkannya dengan ide, seperti yang dilakukan para strukuturalis, orang juga dapat memikirkan ide tanpa menghubungkannya dengan bahasa seperti yang dilakukan oleh para neurologis atau semacamnya. Tetapi dalam aktivitas memikirkan keduanya itu, secara tidak sadar ide mereka bekerja berdasarkan arahan bahasa. Dalam proses pemisahan antara keduanya (ide dan bahasa) itu, mereka sesungguhnya menggunakan bahasa yang bergerak berdasarkan gerak ide mereka juga. Sehingga bahasa dan ide senantiasa bersama-sama secara mesra tanpa ada yang dapat memisahkannya, meskipun ada yang memikirkannya secara terpisah, tetap saja mereka sedang menggunakannnya secara bersamaan dalam proses memikirkannya secara terpisah itu.
A: Sangat banyak faham mengenai bahasa tersebar di dunia sepanjang masa, lalu adakah faham tertentu yang mengaitkan bahasa dan ide, selain yang sedang terbaca ini?
B: Pada awalnya Ideolinguistik bukanlah prinsip tertentu dalam ilmu bahasa. Jika wacana ini kita jadikan suatu prinsip, maka sesungguhnya kita telah membatasi sesuatu yang tidak terbatas. Dalam kajian apapun, bahkan diluar kajian linguistik, tetap orang akan menggunakan bahasa dan dalam penggunaan bahasa itu, anda dapat mengetahui sendiri apa yang terjadi dengan ide bukan?
A: Ya saya tahu bahwa ide merupakan ruh dari bahasa.
B: Sehingga orang yang mengigau itu adalah orang yang berbahasa mati, atau bahasa bangkai. Baiklah, secara mendasar, terdapat dua faham besar tentang bahasa ini, yakni Instrumentalisme dan Determinisme.
Instrumentalisme memandang bahasa sebagai alat atau sarana atau media untuk mengungkapka persepsi, pikiran dan emosi. Sedangkan Determinisme memandang bahwa manusia hanya dapat berpersepsi, berpikir dan beremosi karena mereka memiliki bahasa. Jika kedua pandangan ini dipadukan, maka bahasa menjadi utuh.
Saya tidak berpendapat bahwa seorang bayi tidak memiliki bahasa, akan tetapi mereka sudah memiliki bahasa. Misalnya anda anda sedang ada di rumah sakit anak, suara anak dan bagaimana mereka berekspresi adalah sama.
A: Tetapi mereka tidak dapat berkomunikasi antara satu dengan yang lain…
B: Ya itu memang benar, karena mereka belum mengalami aktivitas berpikir, beride dan merumuskan konsep. Tetapi mereka memiliki rasa seperti sakit, lapar, dingin, panas dan sebagainya. Ketidakmampuannya untuk menggunakan intelektual mereka membuat mereka tidak memiliki kesadaran keberadaan mereka dan keberadaan bayi-bayi lain disekitar mereka. Kesadaran bahwa ada entitas lain disekitar kita adalah kesadaran komunikatif. Sehingga jika kesadaran itu tidak ada, maka tidak terjadi komunikasi.
Dalam perkembangan bayi tersebut, dia bukannya mempelajari bahasa ayah dan ibunya sebagai bahasa baru (bahasa kedua) yang berbeda dengan bahasa awalnya, akan tetapi mengembangkan bahasanya yang mengikuti perkembangan pikirannya dan perkembangan kesadarannya. Tidak dapat disamakan dengan anak Indonesia belajar bahasa Inggris. Ungkapan bayi adalah ungkapan universal yang sama dimana saja, karena terbit dari emosi. Bahkan dapat saya katakan bahwa bahasa orang dewasa yang terbit dari emosi dimana saja bersifat universal. Seperti rintihan tangisan, bahakan tawa dan sebagainya. Mengapa saya mengatakan itu sebagai bahasa? Karena itu semua memiliki makna. Sesungguhnya hanya bahasa yang memiliki makna. Suatu kenyataan hanya akan bermakna secara semantis hanya jika kenyataan itu terbahasakan.
A: Bagaimana dengan Instrumentalisme dan Determinisme?
B: Itu yang sedang saya sampaikan, jika bahasa hanya dipandang sebagai instrumen, maka bahasa sesungguhnya dapat tergantikan dengan hal lain. Bahasa tidak akan tergantikan oleh hal lain. Anda melihat orang bisu berisyarat kepada anda, anda memahaminya dengan cara apa?
A: Saya akan berimajinasi seolah-olah dia mengatakan sesuatu, yang artinya dia berbahasa dalam imajinasi saya.
B: Ya itu benar, sehingga tidak ada sesuatu apapun yang luput dari bahasa, selama sesuatu itu terindrai dan ditangkap kedalam pikiran kita. Si bisu itu merasa dia tidak menggunakan bahasa dalam berekspresi, tetapi ekspresinya hanya dapat dimaknai dengan cara “membahasakan” ekspresinya itu.
A: Maksud anda bahwa pandangan bahwa bahasa sebagai instrumen itu tidak sepenuhnya benar, karena bahasa tidak dapat tergantikan sebagaimana instrumen.
B: Maksud saya adalah, dengan berpandangan bahwa bahasa adalah instrumen, sesungguhnya kita telah mengandang bahasa kedalam suatu kubangan sempit. Kita telah membatasi fungsi bahasa itu sendiri. Bahkan bahasa sebagai syarat bereksistensi pun telah kita kebiri.
A: Lalu bagaimana dengan Determinisme?
B: Determinisme memandang bahasa sebagai isyarat manusia berekspresi. Artinya bahwa hanya dengan keberadaan bahasa sajalah manusia dapat berekspresi. Ini sebenarnya tidak ada bedanya dengan Instrumentalisme, hanya saja Determinisme menekankan bahwa bahasa merupakan satu-satunya intrumen untuk berekspresi. Ini juga membatasi gerak bahasa. Jasad bukanlah intrumen bagi ruh, es bukan instrumen bagi dingin, api bukan instrumen bagi panas, pedang bukan instrumen bagi melukai dan peluru bukan instrumen bagi menghancurkan. Para Instrumentalis dan Determinis hanya memandang bahasa dari segi penggunaannya, tidak memandang bahasa sebagai suatu entitas yang meliputi semesta, terutama semesta pikiran sebagai mikrokosmos. Misalkan es dan dingin. Dingin itu tidak berada di dalam es atau diluar es, melainkan dingin berada dimana es berada, dan yang namanya es pasti dingin. Begitu juga api, demikian halnya juga bahasa dan ekspresi. Sehingga yang satu bukan instrumen bagi yang lainnya, keduanya itu tidak dapat dirunut secara hirarkis, kedua itu bersatu-padu begitu mesra.
A: Saya mulai mengerti, mungkin teman saya yang sedang membaca itu sedang berusaha mengurai penjelasan ini dengan keringat dalam pikirannya…. Lalu sebenarnya apakah fungsi bahasa jika bukan instrumen ekspresi?
B: Dalam Logika Scientifika, W. Poespoprodjo menggambarkan, George Berkeley dalam bukunya Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, dia berkata bahwa tujuan utama bahasa bukan untuk mengkomunikasikan ide-ide. Memang benar, karena bahasa bukan hanya instrumen semata, tetapi bahasa adalah wujud dari ide-ide itu sendiri. Bahasa dan ide tidak akan muncul secara terpisah, dimana ada bahasa, disitu ada ide. Dwitunggal. Mereka berfungsi dalam tiga rangka kerja sebagai berikut:
Fungsi informatif: menyetujui, menolak atau menyuguhkan argumen-argumen dan menjadi ilmu. Bukankah argumen-argumen itu merupakan ide-ide yang sudah terkristal emnjadi konsep? Dan proses penyuguhannya itu adalah proses berbahasa? Perwujudan dari ide-ide?
Fungsi ekspresif: pengungkapan rasa misalnya dalam puisi, lagu, mengungkapkan rasa sedih, sayang, semangat. Bahasa menjadi wujud perasaan dan sikap.
Fungsi direktif: memerintah atau menghalangi seseorang berbuat sesuatu. Kita memerintah atau melarang orang berbuat sesuatu karena dalam pikiran kita itu benar atau salah. Kembali lagi bahwa yang diwujudkan adalah pikiran kita sendiri.
A: Fungsi-fungsi ini seolah-olah sangat instrumentatif…
B: Ya benar, saya juga kurang sependapat dengan fungsi-fungsi ini, bagi saya, fungsi bahasa adalah fungsi pikiran. Fungsi bahasa adalah fungsi perasaan. Fungsi bahasa adalah bergerak sesuai dengan gerak pikiran dengan perasaan, sehingga orang dapat memahami pikiran dan perasaan. Keberadaan api merupakan manifestasi adanya panas disana, dan panas merupakan sifat dasar api. Setrika juga panas tetapi setrika juga bukan api, karena setrika meminjam rasa panas dari api elektris. Sehingga setelah habis panasnya, setrika menjadi sangat dingin.
A: Baiklah, saya pikir sudah cukup dialog atau tanya jawab kita kali ini….
B: Dialog bukanlah tanya jawab… tetapi sudahlah, kita akan membahasnya lain kali, teruskan…
A: Iya, maafkan saya. Kita telah membahas hubungan Ide dan Bahasa, semoga para pembaca dapat menikmatinya. Hahaha, suatu bacaan yang ruwet.
B: Ah, ya. Tetapi sebenarnya apakah kamu sudah punya pacar nona….?
A: Sebenarnya sih belum…. apakah bahasa itu merupakan ide atau emosi bapak?
B: Ah tidak… ungkapan tadi hanya gerakan urat yang tersembunyi…. hahahaha
Keduanya tertawa, meninggalkan ruang tamu dan menuju ke….. anda tafsirkan sendiri…